Sabtu, 21 Maret 2009

Batas Tinta


Brak!!! Kamal melempar sejumlah buku berukuran besar ke meja bundar Pabelan. Mukanya keruh. Mungkin, cuaca siang ini memaksa adrenalinnya terkesiap lebih dari hari-hari biasanya.

Andi sempat meliriknya. Tapi, liputan nuklir Korea Utara di Kompas lebih diminatinya ketimbang harus mengomentari kawan sejawatnya itu. Di ujung meja yang lain, Agung hanya tersenyum simpul. Seperti biasa, ia selalu maklum pada apa pun.

Sejurus kemudian, dengan kecepatan ekstra, ceramah dadakan Kamal meluncur tak tentu arah.

“Kanibal di sekitar kita bertambah banyak saja. Aku pikir, orang-orang sinting cuma ada di kota-kota metropolis selevel Jakarta, Surabaya, Medan, atau Makasar. Aku salah kira. Benar-benar tak ada yang bisa dipercaya lagi di dunia ini,” dengusnya kesal.

“Eh… sadar enggak, tuh,” Taufik yang sedang ngenet di ruang dalam menimpal santai.

“Gimana otakku enggak mendidih… elite-elite politik itu apa enggak melek atau pura-pura dungu. Anak-anak kere yang enggak bisa sekolah di kota ini kan berceceran di mana-mana… malah pada rebutan laptop,” sambar Kamal. Suaranya masih tinggi.

“Wah… kemasukan komunis nih ceritanya,” Rani turut bersuara. Ia baru saja melipat mukena shalat Dhuhurnya.

“Ah… mau komunis, ateis, kapitalis, setanis sekalipun, kalau tak ada yang mau bergerak ngurusin orang-orang kere, dunia ini enggak bakalan tenang. Gila aja. Masa orang bisa ketawa-ketawa di food court, trus di lampu merah pengemis masih membludak.”

“Muna kamu, Mal. Kaya enggak doyan makanan bule aja,” Rani masih bersikukuh, “lagian sudah baca-baca data belum. Jangan-jangan, kamu abis dikompor-komporin orang.”

“Eh… percuma punya status Pabelanis kalau bisanya cuma OmDo. Barusan aku ketemu anggota dewan. Waktu aku tanya soal Lapindo, trus aku kait-kaitkan sama kemiskinan kota ini, mereka malah tertarik ngomongin e-government. Mental apa itu? Orang masih pada susah cari makan, sempat-sempatnya ngidam techno style. Paling-paling, spreadsheet aja mereka enggak tahu, lagunya kaya paling ngerti IT aja. Ini namanya enggak proporsional.”

Yanti datang dengan dua coffemix dingin di tangan. “Siapa yang doyan? Apa enggak mual ngomong terus?”

Tanpa banyak pikir, Kamal menyambar barang gratisan itu. Mungkin, ia akan lebih tenang dengan itu.

Yanti lantas berkomentar singkat, “Pers itu enggak boleh emosional. Harus pakai kepala dingin. Kalau niatnya sudah membunuh begitu, nanti berita kita enggak cover both side, dong. Sekarang dipaparin dulu angle-nya, data-data pendukungnya, baru kemudian, second reality-nya.”

“Yan, kaya enggak tahu Kamal aja. Suruh selesaikan ocehannya aja. Ntar malah jendol di otak, kita yang repot,” celetukan Taufik keluar lagi.

“Ya, tuh. Kita kan butuh data, bukan cuma makian,” Didik akhirnya ikut bersuara. Tidur-tidur ayamnya terganggu dengan rapat redaksi yang tanpa direncanakan itu. Ia masih kecapekan. Ia masih sumpek. Narasumbernya gagal ia temui hari ini.

“Kita butuh orang penting sekarang,” ucap Andi kemudian.

“Maksudnya,” tanya Kamal bersemangat.

“LSM, Pemkot, DPRD, aktivis mahasiswa enggak ada yang bisa diandalkan. Mereka cuma bisa mengumbar kepentingan mereka saja. Eh Mal, berani nyisir Tirtonadi sama Bantaran Bengawan Solo, enggak. Kita investigasi sekalian ambil gambar-gambar eksklusifnya. Orang sekarang susah kalau dikasih argumentasi. Salah-salah, bisa dianggap sok suci, menggurui, atau menjelek-jelekkan orang lain. Kalau foto bicaranya bagus, space buat deskripsi berita kita kurangi. Trus, narasi kondisi kaum miskin kota saja yang kita perbesar. Kita bikin, pembaca seperti melihat dan merasakan langsung apa yang kita lihat dan rasakan,” papar Andi tak ada putusnya.

“Kadang-kadang, encer juga otak kamu,” jawab Kamal dengan mimik puas.

“Tawaran solusinya apa?” Didik membuka topik baru. Karena, tak mungkin semua data itu berguna, kalau media tak bisa memberikan prediksi dan tawaran ide alternatif untuk menyelesaikan semua persoalan ini.

“Solidaritas, undang-undang, program konkret, dan monitoring yang memadai,” tukas Yanti cepat. Maklum, ia baru saja nonton Beyond Borders-nya Angelina Jolie dan Clive Owen. Film tentang penanganan kelaparan dan korban konflik di beberapa negara itu sempat membuatnya tak bisa tidur tenang. Apalagi, Jolie dikabarkan doyan mengadopsi anak-anak yang telantar. Pasalnya, yang ia tahu, biasanya, bintang Hollywood cuma doyan mengurus body.

“Itu masih global. Bagaimana kalau kita ekspose orang-orang miskin pekerja keras yang tak sudi meminta-minta, seperti simbok-simbok pasar, tukang becak, atau pedagang es keliling,” pinta Rani tak mau kalah.

“Semua oke. Kalau menurutku, kita perlu kerahkan semua data tentang kemiskinan di kota ini. Selanjutnya, kita desain persepsi publik bahwa mereka sebenarnya adalah pembunuh berdarah dingin terhadap mereka,” susul Taufik.

“Eit… berita tak boleh dipesan. Itu namanya Macchiavellian ethic in journalism,” kontrol Yanti serius.

“Diskusinya gimana?” Kamal belum puas.

“Kita datangkan anak ekonomi yang pro-neostrukturalism. Mereka bakal kemukakan ide-idenya Hatta, Sritua Arief, Mubyarto, dan Revrisond Baswir,” jawab Agung yang sedari tadi hanya puas menjadi pendengar.

“Kira-kira yang bisa bicara kesempatan kerja, siapa ya?” Didik bertanya lagi.

“Mas Dullah saja. Dia kan jualan bakso sekarang. Bisnis itu yang penting mentalnya, bukan strategi atau statusnya. Kebanyakan konsultan bisnis, bangsa ini juga enggak makmur-makmur. Narasumber kita grass-root aja lah,” Andi meyakinkan audiens.

“Fik, pinjam motornya, mau ambil duit. Kita berangkat siang ini,” seru Kamal meradang. “Oya, Ucup dikontak Yan. Suruh siapin tustelnya. Bilang ke dia, kalau kita siaga satu.”

“Yang benar saja. Jam satu ini aku kuliah,” sergah Taufik.

“Oke, sore abis Asar. Jangan sampai telat. Bawa KTP juga… takut ada apa-apa,” kata Kamal kemudian.

Kamal pun menyambar tas dan kunci motor Taufik. Banyak hal melintas cepat di kepalanya. Tekad aneh menyusup di relung hatinya yang paling dalam. Menurutnya, ia tengah berpikir dan bertindak baik hari ini. Ya, ini reputasi. Pers harus mampu memengaruhi kebijakan publik tanpa harus turun langsung di tengah konflik; tanpa harus bermarah-marah pada kondisi; tanpa harus menjilat elite; tanpa harus bayaran yang cukup. Mungkin, ini akan menjadi hal terbaik yang pernah ia lakukan.

“Eh… Mal! Kopinya dibayar. Enak aja,” seru Yanti tiba-tiba.

Pfuh… Kamal mendelik sempurna.

Senin, 16 Oktober 2006
00.09 WIB
Keep on Smiling and continually write on dedicated area

*Mantan reporter Pabelan Pos
arifgiyanto_solo@yahoo.co.id

Kamis, 18 Desember 2008

2008

HP-ku berderit. Sebuah nomor asing terpampang di layarnya. Ternyata, Deny Mulya Barus, seorang kawan lama yang kini jadi reporter Majalah Gatra. Dulu, dia sempat mengenyam kaderisasi HMI Sukoharjo Komisariat Ahmad Dahlan I. Ia kemudian memutuskan untuk ‘moncer’ di IMM Sukoharjo plus Persma FAI, Islamika.

Setelah saling sungkan, ia bertutur kesan tentang pilihan aktivitasku sekarang. “Wah, sekarang bisa jadi pro ya? Dulu kan anti?” Pertanyaan sederhana yang menukikkan kesalehanku di masa lalu, barangkali.

Aku terbahak seadanya. Bukan soal kalimat barusan. Apalagi, kalimat serupa telah sering aku dengar setahun ini. Aku tertawa untuk netralisasi suasana, bahwa semua tetap seperti dulu. Ya, saat visi kemahasiswaan diretas untuk Indonesia yang lebih baik. Saat visi media bersanding dengan perubahan, berkelindan dengan keperkasaan modal yang sulit dipongahi. Aku dan Deny sempat mempelajarinya bersama.

Aku tertawa untuk kesan yang sebenarnya, meresahkanku. Resah bukan lantaran aku merasa tengah berada di jalan yang salah. Tapi resah karena barangkali, ada fatwa laten, tentang aku yang seharusnya tak seperti sekarang. Ya, aku merasa, banyak kawan yang berbaik hati meluangkan karsa untuk hidupku, yang ‘seharusnya’ tak di tempatku ini.

Selontar kalimat aku feed back-kan agar suasana berimbang. “Gaya bicara kamu udah mirip diplomasi media, Den. Udah ngga gaya politikus lagi seperti dulu.”

Dan tawa membuncah renyah.

Benar, ada apa denganku setahun ini? Aku sering menanyakannya, serius. Mengapa aku tak sanggup lagi menulis buku untuk kemaslahatan (bangsa), semisal? Aku punya Salmanism (2002), Ecoideanomics (2003), HMI Makkiyah (2004), Born to Be Free (2005), Beyond Growl (2006), Bertaruh Citra Dakwah (2007). Aku tak punya apa-apa di 2008.

Apa yang aku dapat dari Jakarta setahun ini? Aku seakan tergopoh untuk reposisi bangsa yang semakin sulit. Jakarta mengajarkanku untuk semakin yakin bahwa semua konstelasi yang terjadi adalah ciptaan. Ya, by design. HMI Sukoharjo mengenyalkan benakku untuk membangun prasangka, lantaran ada khazanah postmodernisme seputar simulasi dan simulacra. Persma Pabelan mendedahkan professional skepticism pada runutan jurnalisme investigasi. Wajar kalau kemudian aku semakin yakin, banyak rencana operasi yang telah berhasil mengacak-acak negeri ini, tapi aku tak tahu banyak. Sisanya, akan semakin bertambah banyak.

Semua operasi itu jelas untuk mengamankan modal besar. Sejauh yang aku tahu, untuk berkompetisi dengan modal, hanya bisa dilakukan dengan modal atau mungkin… jaringan. Dan aku membahasakan jaringan itu sangat sederhana. Ya, apalagi kalau bukan… kebersamaan.

Arif Giyanto

Sabtu, 16 Agustus 2008

Pabelan's World

"Emange yen ora nduwe mobil dewe po yo ora diaku alumni," seloroh seorang kawan Pabelan siang itu. Ia sedikit strict untuk urusan ini. Sebab baginya, salah satu sebab penting mengapa Alumni Pabelan tak bisa disatukan, adalah kasta-kasta yang tak perlu itu.

Aku tersenyum. Sulit menjawabnya dengan singkat dan menyentuh persoalan yang sesungguhnya. "Setelah sekian lama, kita memang salah bila harus mengumpulkan alumni hanya karena bisnis."

Jelas kalimat ini sangat tidak membantu. Ia hanya keberatan personal, lantaran setiap pertanyaan wajib dijawab, meski belum memuaskan. Meski tak dipungkiri juga, klausul tentang bangunan persepsi sebuah jalan telah tertata. Ya, muncul pertanyaan penting. Benarkah alumni Pabelan akan menjadi satu bila ada kepentingan bisnis, yang kemudian akan menghasilkan mobil-mobil pribadi, dan akhirnya bisa diaku sebagai alumni.

Kadang, aku pupus hati juga. Pasalnya, apa karena Pabelan tempat orang menulis, jadi hanya bisa nulis an sich, dan menjadi tak aneh bila kemudian tak ada aksinya. Bukan, aku tidak menyebutnya keniscayaan. Aku hanya menganggapnya, ketidaknyamanan sesaat untuk sebuah tugas yang bahkan telah berpuluh tahun dirintis, dan belum berhasil.

Sederhana saja. Aku tengah membayangkan jalinan sinergis antara Pabelan dan Alumni Pabelan. Pabelan akan merepresentasi epistemic community bagi kegerahan umum tentang kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, dengan analisis dan tulisan. Sementara itu, Alumni Pabelan melanjutkan semuanya dengan jaringan kerja yang lebih luas. Salah satu tugasnya, menyediakan pekerjaan bagi alumni Pabelan terbaru, agar tak gampang diambil kekuatan yang anti-Pabelan.

Anti-Pabelan yang aku maksud jelas kekuasaan dan modal besar yang tak peduli pada rakyat miskin. Mereka hanya berpikir keuntungan, dengan kawan-kawan Pabelan sebagai sekrupnya, untuk terus meninggikan dominasi peran di negeri ini. Hingga saat orang-orang semakin miskin, dasi dan mobil lebih mentereng ketimbang hanya menyediakan alternatif pekerjaan bagi mereka.

Bila ini berhasil, aku menyebutnya the Pabelan's World.

Selasa, 01 Juli 2008

Fajar Shodiq

Kalau saya boleh usul, sekalian aja dicatat nama-nama anggota Pabelan dari periode paling awal sampai akhir. Jadi ada arsip datanya.Kalau memungkinkan juga ada foto-foto yang sempat tersisa di tiap periode. Kan tambah asyik tuh. Tapi ya kalau sempat saja.

Idealisme, kedewasaan, itu akan selalu berjalan seiring dengan kematangan. Karena pertemuan, pengalaman dan kenyataan hidup, memang harus selalu disikapi, meski ada banyak cara dalam penyikapannya.

Tapi yang barangkali aku ingin bersaran pada kawan-kawan yang masih memiliki semangat pergerakan, kawan-kawan harus sadar, bahwa setiap perjuangan butuh proses yang panjang. Dalam proses itulah, nanti kawan-kawan akan menemukan banyak kenyataan. Ketika kita bisa berpikir dan mampu merenungi kenyataan, anda akan berhasil. Sebab disitulah jalan menuju kedewasaan. Kata orang, tua itu kaharusan, tapi dewasa hanya pilihan.

Ok, dilanjut aja diskusinya.Saya akan nonton dari jauh....
Terima kasih Moko,yang udah ngasih alamat grup ini, jadi saya nggak kesepian di Batam,dan hanya bisa merenungi tumpukan pekerjaan yang gk pernah ada habisnya.

Oya, sekalian promosi.Kalo ada yg mau Klik,saya lagi nyoba bikin blog, tapi cuma satu lembar (mungkin saya harus belajar sama om widi) : http://masshodiq.wordpress.com/

fajarshodiq@yahoo.com
M. FAJAR SODIK
MEDIA RELATIONS
MOBILE : 08175454952

Senin, 30 Juni 2008

NINIK: Seloroh Indah Sejarah Pabelan

“Nin, aku minta satu kalimat tentangku setelah setahun ini,” mohonku pada Ninik Sri Hartini, seorang jujur yang setia di sampingku hingga kepengurusan Pabelan 2002-2003 berakhir.

Seperti biasa, ia tersenyum segera. Mimik spontannya itu selalu ia berikan padaku sebagai respons pertamanya atas semua interaksiku bersamanya. Tak pernah berganti. Aku tahu, ia sedang menyusun jawaban yang menurutnya paling tepat. Aku juga tahu, ia pasti akan menatap sesuatu di depannya untuk membantunya berkonsentrasi. Biasanya, yang ia tatap, meja bundar Pabelan. Kalau pertanyaan agak sulit, ia juga sering garuk-garuk leher, bukan kepala seperti Lupus atau Wiro Sableng. Dan tiba-tiba ia tampak salah tingkah di depanku. Selalu saja begitu....

“Kalau kamu ngomong selalu pengin mempengaruhi orang lain,” balasnya singkat. Ia sedikit mendongakkan wajahnya, berusaha menatapku. Kali ini dengan tajam. Aku sedikit kaget. Tak biasanya ia begitu. Entah apa maksudnya. Tapi, aku cepat-cepat tersenyum. Aku takut melihatnya kecewa lagi di akhir waktu ini.

Ninik memang bukan orang baru di sampingku. Bersama beberapa orang penting, aku dan dia hadir di Pabelan menjelang semester empatku habis. Ketika itu, aku hanya bisa berprasangka bahwa ia tak lebih seperti yang lain. Aku menyebutnya, performance FKIP. Tapi, sejak ia Sekretaris Umum, aku bahkan sering lupa kalau ia satu-satunya pimpinan terbatas yang paling muda.

Ia tak banyak bicara. Aku mengaguminya hingga tak pernah kuasa menyepelekannya, atau mengekspresikannya dengan ‘tatapan cowo’, semisal. Setiap kali bersamanya, aku merasa tenang dan memberikan kepercayaan diri yang cukup bahwa semua akan baik-baik saja. Bila dihitung, lusinan momentum bisa aku ungkapkan. Dari Rapat Pimpinan Terbatas yang selalu membuatnya bingung hingga mengumpulkan seluruh organ gerakan mahasiswa Solo dalam desain isu besar ‘Turunkan Mega-Haz’ semakin merekatkan keberadaan Ninik pada hari-hariku memimpin Pabelan.

Suatu saat ia tak lagi tampak di Pabelan, beberapa minggu. Entah karena apa aku tak tahu. Di depan Rapat Anggota, aku nyatakan ini sebagai ‘Gerakan Boikot Etis’. Sebuah gerakan kru kesekretariatan yang tak dihargai kompetensinya. Setiap kali ada seruan untuk menjaga sekretariat, termasuk kebersihan, kerapian administrasi, hingga logistik, banyak kru redaksi yang tak mau mendengarnya. Pantas saja Ninik marah. Yang pasti, tentu bukan itu problem sebenarnya. Aku hanya sengaja menciptakan nuansa organisasi yang full punishment melalui momentum ketidakhadiran Ninik.

Hingga kemudian saat aku bertandang ke rumah, dengan ayahnya yang setia menemaniku bicara, aku tak perlu bicara banyak pada Ninik. Aku juga tak ungkapkan apa yang sebenarnya dan seharusnya terjadi. Semua terasa datar, dan dengan tatapan mata sore itu, Ninik pun hadir kembali di Pabelan minggu berikutnya. Ya, hingga kini aku tak tahu apa yang sebenarnya membuat ia tak hadir di Pabelan berminggu-minggu.

Harus kuakui. Aku mulai takut kehilangan Ninik. Sebab, hanya dia yang bisa menetralisasi keadaan, tak seperti Pimpinan Terbatas lain yang tentu, jauh lebih rumit lantaran punya kemampuan analisis di atas rata-rata. Sore itu menjawab keraguan itu. Ninik akhirnya mau menemaniku hingga akhir kepengurusan. Meski ia juga memilih untuk tak lagi menengok Pabelan pasca menjadi pimpinan, persis sepertiku.

Ia pernah mengungkapkan kebimbangan sangatnya atas semua tekanan keorganisasian karena kebijakan-kebijakan yang aku gulirkan. Ia pernah pulang pagi untuk rapat yang sama sekali tak ia pahami sebab-akibatnya. Ia pernah larut dalam konflik yang potensial memecah belah Pabelan dengan seabrek kesabarannya. Ia satu-satunya pimpinan yang aku percaya saat banyak pimpinan gerah dan hendak hengkang dari Pabelan.

Bukan itu saja. Banyak hal tak terkatakan, memenuhi benakku beriring simpatiku pada puisi-puisi masa kecilnya di Republika. Atau kakak-kakaknya yang lulusan UGM. Atau ia yang sangat dekat dengan ibunya, dan turut berjualan di SD dekat rumahnya, plus sembilan tempat di mana ia mengajar sejak lulus FKIP.

Kesan keukeuh itu lekat di mataku. Ia kabarkan pada Taufan untuk menghormati rekan lain yang tak sepantar kualitas intelektualnya. Ia katakan pada TJ untuk memahami tingkah polahku yang akademis-politis. Ia imbangi Arif Pribadi untuk tetap saling percaya. Pun saat Pabelan meringis mengejar semua deadline-nya. Ya, Ninik juga penulis yang tangguh. Ia bisa lakukan tugas penulisan redaksi model apa pun.

Ninik jelas bisa mewajarkan semuanya dalam bingkai aktivitas yang sepertinya, wajar untuk fluktuatif dan dinamis. Ia merasa perlu memaklumi semuanya dan memosisikan diri sebagai sosok penyelaras yang sangat penting. Ia bukan penentu kebijakan, tapi ketidakhadirannya bisa mengguncang organisasi. Ia bukan sosok pemarah bila ada kru yang tak taat aturan, tapi aku bisa kebingungan kalau ia katakan ketidaksukaannya pada perilaku seseorang.

Entah apanya yang membuatku sangat terkesan. Bahkan hingga beberapa kawan menyatakan rasa sukanya sebagai cowo pada Ninik pun, aku tetap tak mau tahu. Aku tak perlu itu, karena buatku dan Pabelan, Ninik sangat penting, di atas semuanya.

“Kamu itu kalau urusan cinta-cintaan emang begitu,” sentilnya suatu waktu. Ketika itu, ia menganggapku tak pernah tertarik perempuan dan seabrek perilaku romantis yang tentu saja, ‘sangat diminati kebanyakan’ itu. Mungkin saja, di mata Ninik aku tampak seperti awak pesawat ulang alik yang hanya mencintai bulan dan meteor. Pfuh!!!

“Aku normal, Nin. Aku juga punya perasaan,” gumamku sederhana.

Oya, terkadang, aku juga memanggilnya, Sri. Aku tak mau memanggilnya Hartini. Itu nama ibuku. Aku juga tak mau memanggilnya Nik. Sebab, aku tak mau seperti orang-orang memanggilnya.

Semoga dia baik-baik saja dan selalu bahagia. Akhir tahun ini, ia susul suaminya ke Surabaya... sebagai istri yang takzim (ehm!). Hidup Ninik!!

Senin, 30 Juni 2008

20.07 WIB

arifgiyanto_solo@yahoo.co.id

www.belajarhidupbersama.blogspot.com

Jumat, 30 Mei 2008

Fatihah

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Kang Plengeh pernah berujar pentingnya blog untuk alumni Pabelan. Kalo Bang Alfian masih peduli pada beberapa anak Pabelan, ini tentu perlu diapresiasi. Ratusan alumnus Pabelan yang bisa dikoneksikan tersebar di seluruh nusantara. Simpel saja, semua perlu dikonsolidasikan kembali... agar hidup menjadi lebih baik.

Wassalam

Arif Giyanto (PU 02/03)
Tri Harjanto (Pemimpin Usaha 02/03)